Kesantunan Berbahasa
Sebagai Wajah Bangsa
By; Naomi (Kelas 9 A)
Bapak Ibu juri yang saya hormati, serta para hadirin yang saya kasihi, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera bagi Kita Semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas karunia-Nya kita dapat berkumpul pada kesempatan ini dalam keadaan sehat. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dewan juri serta Forum MGMP Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Karawang atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Festival Bulan Bahasa dan Sastra 2025 sehingga saya dan siswa-siswi SMP Kabupaten Karawang dapat mengasah kemampuan menulis, membaca, dan mengekspresikan berbahasa dan bersastra.
Hadirin yang berbahagia, Selamat siang, perkenalkan saya Leonita Naomi Gustian Simanullang dan pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak hadirin untuk mengingat kembali tindakan yang setiap saat kita lakukan namun sering kita lupakan, yaitu kesantunan berbahasa.
Di dunia yang terkadang lebih memprioritaskan kecerdasan intelektual dibandingkan kecerdasan berkarakter, memilih berperilaku santun berbahasa adalah sebuah tindakan “memberontak”. Benar, memberontak. Memberontak karena kita berani untuk memilih bukan hanya memerdulikan angka di atas kertas, namun juga bagaimana kata-kata yang kita keluarkan dapat memberi dampak bagi kehidupan orang lain.
Kita dapat memoles senyum yang lebar sebagai topeng. Namun kata-kata? Kata-kata tak bisa dibohongi. Ia adalah cerminan karakter dan bagaimana kita berpikir. Jika kita tidak bisa santun dalam berbahasa, pantaskah kita menyebut diri kita orang yang berpendidikan? Pendidikan bukan hanya tentang berapa banyak angka yang bisa kita hitung atau berapa banyak rumus yang kita hafal, namun juga bagaimana kita dibentuk menjadi pribadi yang berbudi pekerti sehingga kata-kata yang terucap dari mulut kita dapat mendorong orang-orang di sekitar kita. Namun pada kenyataannya, coba kita lihat di sekitar kita. Berbagai ejekan di lontarkan, kata-kata yang tak
pantas diucapkan, dan media sosial dipenuhi komentar negatif, serta ketika kita membutuhkan bantuan, kita terkadang lupa untuk mengucapkan “tolong” “terima kasih” dan “maaf” ketika berbuat salah. Ketika kita berbahasa dengan santun, karakter kita sedang dibangun. Karena contohnya, ketika kita menggunakan kata-kata yang sopan dan baik, kita sedang belajar untuk menghormati orang lain. Ketika kita
memberikan pendapat tanpa memaksakan kehendak, kita sedang belajar untuk menghargai perbedaan pendapat. Namun kesantunan berbahasa tidak hanya cukup berada dalam lingkup ruangan kelas atau keluarga. Dunia ini telah berubah menjadi serba cepat, dan sekarang kata-kata bukan hanya diucapkan namun berada dalam genggaman dan dapat tersebar hanya dengan satu klik. Hal tersebut pun memberi kesempatan kepada beberapa oknum tidak bertanggungjawab untuk saling menjatuhkan. Jangan biarkan kata-kata di layar memasuki pikiran
kita dan memengaruhi cara kita berbahasa, tapi gunakanlah kesempatan tersebut untuk melatih kesantunan berbahasa. Itulah sebabnya kesantunan berbahasa perlu dijadikan sebuah kebiasaan. Seperti yang dipetik dari penulis Irlandia, Robert Lynd “Kebiasaan sopan santun, begitu diperoleh, hampir tidak mungkin dihilangkan.” Kesantunan berbahasa bukan muncul tiba-tiba, namun dibangun secara perlahan dan
ditanamkan oleh orangtua dan keluarga sejak dini. Kesadaran dan inisiatif dari dalam diri kita juga penting untuk dibangun agar kebiasaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, jadilah generasi yang cerdas dan berkarakter melalui kesantunan berbahasa Indonesia karena bangsa yang cerdas dibangun oleh generasi yang cerdas dan di situlah peran kita sebagai penerus bangsa. Bahasa adalah wajah bangsa, maka santunlah dalam berbahasa agar bangsa kita dikenal dengan baik dan dihormati. Terima Kasih dan selamat siang.